Senin, 04 Juni 2012

Gangguan Berbahasa

BAB I
PENDAHULUAN

          Alat bicara yang baik akan mempermudah berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Inilah yang di sebut sebagai gangguan berbahasa.
          Gangguan-gangguan berbahasa tersebut sebenarnya akan sangat mempengaruhi proses berkomunikasi dan berbahasa. Banyak faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan adanya gangguan berbahasa, kemudian faktor-faktor tersebut akan menimbulkan gangguan berbahasa. Maka dari itu, dalam makalah ini akan dijabarkan macam gangguan berbahasa yang sering dialami manusia berserta faktor-faktor yang menyebakannya.
           Secara medis menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa itu dapat di bedakan atas tiga golongan, yaitu (1) gangguan berbicara, (2) gangguan berbahasa, dan (3) gangguan berpikir. Ketiga gangguan itu masih dapat di atasi kalau penderita  gangguan itu mempunyai daya dengar yang normal; jika tidak, maka akan menjadi sukar atau bahkan sangat sukar.


















BAB II
PEMBAHASAN
  1. Gangguan Berbicara
                 Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena itu, gangguan berbicara ini dapat di kelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang berimplikasi pada gangguan organik; dan kedua, gangguan berbicara psikogenik.[1]

a. Gangguan Mekanisme Berbicara
                Gangguan berbicara secara biologis disebabkan ketidaksempurnaan organ. Contohnya yaitu yang di alami tunarungu, tunanetra, dan penyandang gangguan mekanisme berbicara.
                Ketidaksempurnaan organ bicara menghambat kemampuan seseorang memproduksi ucapan (perkataan) yang sejatinya terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru. Hal ini disebut gangguan mekanisme berbicara. Menurut Chaer (2009) dalam bukunya Psikolinguistik; kajian teoretik, bahwa gangguan berbicara berdasarkan mekanismenya dapat terjadi akibat kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada pita suara (laringal), pada lidah (lingual), dan pada rongga mulut serta kerongkongan (resonantal).
  1. Gangguan Akibat Faktor Pulmonal
Gangguan berbicara ini di alami oleh para penderita penyakit paru-paru . Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernapasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya di warnai oleh nada yang monoton, volume suara yang kecil sekali, dan terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah.
  1. Gangguan akibat Faktor Laringal
Gangguan pada pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringal ini di tandai oleh suara serak atau hilang, tanpa kelainan semantik dan sintaksis. Artinya, dilihat dari segi semantik dan sintaksis ucapannya bisa di terima.

  1. Gangguan Akibat Faktor lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih jika digerakkan. Untuk mencegah rasa sakit itulah cara berbicara di atur dengan gerak lidah yang dibatasi. Dalam kondisi seperti ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak sempurna. Misalnya kalimat “Jangan ragu-ragu silahkan ambil saja” Mungkin akan di ucapkan menjadi “Hangan agu-agu siakang ambiy aja”.
Pada orang yang terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah, maka lidahnyapun lumpuh sebelah. Berbicaranya menjadi pelo atau cadel yang dalam istilah medis disebut disatria (terganggunya artikulasi).
  1. Gangguan Akibat Faktor Resonansi
Gangguan akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Misalnya yang di derita orang sumbing akibat gangguan resonansi pada langit-langit keras (palatum) pada rongga mulut. Selain itu juga terjadi pada orang yang mengalami kelumpuhan pada langit-langit lunak (velum). Rongga langit-langit itu tidak memberikan resonansi yang seharusnya sehingga suaranya menjadi bersengau. Penderita penyakit miastenia gravis (gangguan yang menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah) sering dikenali secara langsung karena kesengauan ini.

b. Gangguan Psikogenik
                Selain karena karena faktor gangguan mekanisme berbicara sebagaimana dijelaskan diatas, ada juga gangguan berbicara disebabkan segi mental atau psikogenik. Gangguan ini bersifat lebih ‘ringan’ karena itu lebih tepat disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal sebagai ungkapan dari gangguan mental. Modalitas mental ini terungkap dari nada, intonasi, intensitas suara, lafal, dan diksi atau pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara. Gangguan psikogenik ini antara lain sebagai berikut:
  1. Berbicara Manja
                Disebut berbicara manja karena ada kesan keinginan untuk dimanja sebagaimana anak kecil yang membuat perubahan pada cara bicaranya. Fonem (s) dilafalkan (c) sehingga kalimat “sakit sekali susah sembuhnya” menjadi “cakit cekali cucah cembuhnya”. Gejala seperti ini dapat diamati pada orang tua pikun atau jompo (biasanya wanita).
  1. Berbicara kemayu
                Menurut Sidharta (dalam Chaer, 2009) istilah kemayu mengacu pada perangai kewanitaan yang berlebihan yang dalam hal ini ditunjukkan oleh seorang pria. Berbicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara menonjol atau ekstra lemah gemulai dan memanjang. Meskipun berbicara jenis ini tidak langsung termasuk gangguan berbahasa, tetapi dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapkan gangguan identitas kelamin.
  1. Berbicara Gagap
               Gagap yaitu berbicara yang kacau, tersendat-sendat, mendadak berhenti lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat di selesaikan. Penderita gagap kerap tidak berhasil mengucapkan suku kata awal, hanya berhasil mengucapkan konsonan atau vokal awalnya dengan susah payah hingga bisa menyelesaikan kalimatnya. Dalam usahanya mengucapkan kata pertama yang barangkali gagal, penderita gagap menampakkan rasa letih dan kecewanya.
               Menurut Sidharta (dalam Chaer, 2009) kegagapan adalah disfasia yang ringan. Kegagapan ini lebih sering terjadi pada kaum laki-laki, dan lebih banyak pada golongan remaja daripada golongan dewasa (Chauchard,1983).[2]
               Penyebab  gagap belum di ketahui secara tuntas. Namun, hal-hal yang di anggap mempunyai peranan dalam menyebabkan terjadinya kegagapan itu. Misalnya:
  • Faktor Stres
  • Pendidikan anak yang terlalu keras dan ketat, serta tidak mengizinkan anak berargumentasi dan membantah.
  • Adanya kerusakan pada belahan otak (hemisfer) yang dominan.
  1. Berbicara Latah
               Latah atau ekolalla yaitu prilaku membeo atau menirukan ucapan orang lain. Ini merupakan sindrom yang terdiri atas curah verbal repetitif yang bersifat jorok (koprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing. Kata-kata jorok yang ditiru cenderung berorientasi pada alat kelamin laki-laki. Yang sering di hinggapi sindrom ini adalah wanita berumur 40 tahun ke atas.

  1. Gangguan Berbahasa
               Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Anak-anak yang lahir dengan alat artikulasi dan auditori yang normal akan dapat mendengar kata-kata melalui telinganya dengan baik dan juga akan dapat menirukan kata-kata itu. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Ini berarti, daerah Broca (gudang tempat menyimpan sandi ekspresi kata-kata dalam otak) harus berfungsi dengan baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia.
               Afasia ini dibedakan atas afasia ekspresi atau afasia motorik  dan afasia reseptif atau afasia sensorik.[3]
  1. Afasia Motorik
           Didapati adanya tiga macam afasia motorik ini, antara lain:
    1. Afasia motorik Kortikal
           Adalah hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderitanya masih mengerti bahasa lisan dan tulisan, namun ekspresi verbal tidak bisa sama sekali.
    1. Afasia Motorik  Subkortikal
            Terjadi karena kerusakan bagian bawah Broca. Penderitanya tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan, tetapi masih bisa berekspresi verbal dengan membeo.
    1. Afasia Motorik Transkortikal
            Terjadi karena hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa yang terganggu. Penderitanya dapat mengutarakan perkataan, namun hanya singkat dengan perkataan subtitusinya.
      b.   Afasia Sensorik
           Kerusakan karenanya dapat menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang didengar terganggu, tetapi juga pengertian dari apa yang dilihat ikut terganggu. 

3.   Gangguan Berpikir
                Pemakalah sebelumnya telah membahas mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran karena bahasa dipersyarati kemampuan manusia berkognisi. Isi pikiran diutarakan dalam ekspresi verbal. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa ekspresi verbal yang terganggu bersumber atau di sebabkan oleh pikiran yang terganggu. Gangguan ekspresi verbal sebagai akibat dari gangguan pikiran yang dapat berupa hal-hal berikut:
    1. Pikun (Demensia)
               Orang yang pikun menunjukkan banyak gangguan seperti agnosia, apraksia, amnesia, perubahan kepribadian, perubahan perilaku, dan kemunduran dalam segala macam fungsi intelektual. Semua gangguan ini menyebabkan kurangnya berfikir, sehingga ekspresi verbalnya di warnai dengan kesukaran menemukan kata-kata yang tepat. Kalimat seringkali di ulang-ulang, pembicaraan sering terputus karena arah pembicaraan tidak teringat atau sering berpindah ke topik lain.
               Dr. Martina W.S. Nasrun sebagaimana dikutip oleh Chaer dalam bukunya Psikolinguistik; kajian teoretik, mengatakan bahwa Kepikunan adalah suatu penurunan fungsi memori atau daya ingat dan daya pikir lainnya yang dari hari ke hari semakin buruk. Gangguan kognitif ini meliputi terganggunya ingatan jangka pendek, kekeliruan mengenali tempat, orang, dan waktu. Juga gangguan kelancaran berbicara.
               Penyebab pikun ini antara lain karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar, termasuk menurunnya jumlah zat-zat kimia dalam otak. Biasanya volume otak akan mengecil atau menyusut, sehingga rongga-rongga dalam otak melebar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh penyakit, seperti stroke, tumor otak, depresi, dan gangguan sistematik.
    1. Autisma
               Anak autisma selain tidak responsif terhadap orang lain juga terobsesi dengan kesamaan lingkungan. Artinya, dia sangat kaku dengan rutinitas yang dihadapinya, dia akan marah apabila terdapat perubahan kondisi dari yang biasa dijumpainya.
               Ada dua kategori perilaku autisma yaitu, perilaku eksesif (berlebihan) dan perilaku yang defisit (berkekurangan). Yang termasuk perilaku eksesif yaitu hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa jeritan, menyepak, menggigit, mencakar, memukul, dan sebagainya. Di sini juga sering terjadi anak menyakiti diri sendiri (self-abuse). Perilaku defisit ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat, misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab dan melamun.  [4]
    1. Depresif
               Orang yang tertekan jiwanya memproyeksikan penderitaannya pada gaya bahasanya dan makna curah verbalnya. Volume curah verbalnya lemah lembut dan kelancarannya terputus-putus dalam interval yang cukup panjang. Namun, arah arus isi pikiran tidak terganggu.  Kelancaran bicaranya terputus oleh tarikan napas yang dalam, serta pelepasan napas keluar yang panjang. Perangai emosional yang terasosiasi dengan depresi itu bersifat universal. Curah verbal depresif dicoraki topik yang menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri sendiri, kehilangan semangat bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan, malah cenderung berupaya mengakhirinya.
    1. Gangguan Lingkungan Sosial
               Yang dimaksud dengan akibat faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak manusia, yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan manusia. Jadi, anak yang terasing, tidak ada orang yang diajak dan mengajaknya berbicara, tidak mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan sosial masyarakat, maka dengan cepat ia menjadi sama sekali tak dapat berbahasa. Otaknya menjadi tidak lagi berfungsi secara manusiawi karena tidak ada yang membuatnya atau memungkinkannya berfungsi demikian. Maka sebenarnya anak terasing, yang tidak punya kontak dengan manusia, bukan lagi manusia, sebab manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Meskipun bentuk badannya adalah manusia tetapi dia tidak bermartabat sebagai manusia. Otaknya tidak berkembang sepenuhnya, tidak dapat berfungsi dalam masyarakat manusia, Dalam sejarah tercatat sejumlah kasus anak terasing, baik yang di asuh oleh hewan maupun yang terasingkan oleh keluarganya.[5]








DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul, Psikolinguistik Kajian Teoretik, Jakarta: Rineka Cipta, 2009
Abdurrahman, dkk. Psikolinguistik Konsep & Isu Umum, UIN Malang press, 2008




[1] Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoretik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) Cet. 2 h. 149
[2] Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoretik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) Cet. 2 h. 154

[3] Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoretik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) Cet. 2 h. 157-158
[4] Abdurrahman dkk, Psikolinguistik Konsep & Isu Umum, (UIN Malang press, 2008), h. 124
[5] Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoretik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) Cet. 2 h. 161-162

Tidak ada komentar:

Posting Komentar